(OPINI) Mengapa Kita Harus Belajar dari Malaysia dalam Pengelolaan Zakat dan Wakaf

Oleh: Sri Sugiyanti

Direktur IFI

Sebagai seseorang konsultan dalam dunia pengelolaan zakat dan filantropi Islam, saya meyakini bahwa sudah saatnya lembaga-lembaga zakat dan kemanusiaan di Indonesia membuka diri untuk belajar dari negara tetangga, khususnya Malaysia. Pengelolaan zakat di Malaysia menyuguhkan banyak pelajaran penting dari sistem yang terstruktur, dukungan regulasi yang kuat, hingga pemanfaatan teknologi secara optimal. Semuanya layak untuk diadaptasi dan disesuaikan dengan konteks Indonesia.

Pertama, yang paling menonjol dari sistem zakat di Malaysia adalah model pengelolaannya yang terpusat dan terkoordinasi. Setiap negara bagian memiliki lembaga resmi seperti Pusat Pungutan Zakat (PPZ) dan Majlis Agama Islam Negeri (MAIN) yang beroperasi secara sistematis dan sah secara hukum. Ini berbeda dengan Indonesia yang lebih desentralistik, di mana pengelolaan zakat dilakukan oleh ratusan lembaga—baik milik pemerintah seperti BAZNAS maupun swasta seperti LAZ. Keberagaman ini memang memperkaya ekosistem, namun sekaligus menimbulkan tantangan dalam hal koordinasi dan pengawasan.

Malaysia juga menjadi teladan dalam aspek regulasi. Di setiap negara bagian, zakat tidak hanya dianggap sebagai kewajiban spiritual, tetapi juga diatur secara hukum dan bersifat wajib bagi Muslim yang memenuhi kriteria. Sebaliknya, di Indonesia, meskipun sudah ada UU No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, implementasinya masih bersifat sukarela. Akibatnya, potensi zakat nasional yang diperkirakan mencapai Rp 327 triliun per tahun belum terealisasi secara optimal. Pada 2023, misalnya, Indonesia baru menghimpun sekitar Rp 32 triliun. Bandingkan dengan Malaysia yang pada tahun yang sama berhasil menyalurkan hampir seluruh dana zakat lebih dari RM 1 miliar hanya dari wilayah MAIWP.

Hal lain yang patut diapresiasi adalah integrasi zakat dengan sistem perpajakan di Malaysia. Di sana, zakat dapat secara langsung mengurangi jumlah pajak terutang (tax rebate), bukan sekadar dikurangkan dari penghasilan bruto seperti di Indonesia. Insentif fiskal ini memberi dorongan nyata bagi masyarakat untuk menunaikan zakat melalui lembaga resmi. Bayangkan jika sistem seperti ini diterapkan di Indonesia—jumlah muzakki yang membayar zakat secara rutin kemungkinan besar akan meningkat drastis.

Dalam hal teknologi dan transparansi, Malaysia juga selangkah lebih maju. Mereka menyediakan sistem pembayaran zakat online yang terintegrasi, dilengkapi audit berkala dan pelaporan publik yang profesional. Ini membangun kepercayaan publik karena sistemnya terbuka dan mudah diakses. Di Indonesia, meskipun BAZNAS dan beberapa LAZ telah mulai memanfaatkan teknologi, penerapannya masih belum merata. Padahal, digitalisasi yang seragam dan transparan dapat menjadi game changer dalam pengelolaan zakat modern.

Satu aspek lain yang layak dicontoh adalah keseriusan Malaysia dalam edukasi zakat. Sosialisasi dan pendidikan zakat dilakukan secara terstruktur melalui kurikulum pendidikan formal dan media arus utama. Di Indonesia, upaya edukasi memang telah dilakukan oleh berbagai lembaga, namun tantangannya adalah menjangkau masyarakat yang sangat beragam secara geografis dan kultural, serta membangun pemahaman bahwa zakat bukan sekadar instrumen konsumtif, melainkan juga alat pemberdayaan sosial.

Karena itu, saya mendorong agar lembaga-lembaga zakat dan sosial di Indonesia, baik milik pemerintah maupun masyarakat sipil membuka diri untuk belajar langsung dari pengalaman Malaysia. Salah satu langkah konkret yang bisa ditempuh adalah melalui program IFI, Belajar dari Lembaga Sosial di Malaysia ke lembaga seperti PPZ, MAIWP, atau Institut Kemahiran Baitulmal. Dari sana, kita dapat memperluas jejaring internasional, memahami praktik terbaik dalam pengelolaan zakat dan wakaf, serta mengadopsi pendekatan yang relevan dengan kebutuhan lokal.

Pengalaman internasional seperti ini tak hanya memperluas wawasan, tetapi juga menginspirasi pembentukan sistem zakat nasional yang lebih kuat, terintegrasi, dan berdampak nyata. Kita juga dapat belajar bagaimana zakat dan wakaf berperan dalam mengatasi persoalan-persoalan besar umat: kemiskinan, pendidikan, hingga kesehatan. Dengan menggabungkan perspektif global dan pendekatan lokal yang adaptif, saya percaya Indonesia bisa menjadi salah satu negara dengan sistem pengelolaan zakat terbaik di dunia Islam.

Sebagai bangsa besar dengan mayoritas penduduk Muslim, Indonesia memiliki semua potensi untuk mencapainya. Yang kita perlukan sekarang adalah kemauan untuk belajar, keberanian untuk berubah, dan komitmen untuk berbenah. Malaysia telah menunjukkan jalannya. Kini, saatnya kita bergerak.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *