Momentum Penegakan Regulasi Filantropi yang Adil dan Transparan

Oleh Abdul Ghofur (Associate Trainer IFI)

Pemberitaan tentang salah satu lembaga filantropi di Indonesia menjadi satu diskusi hangat terutama di kalangan pegiat filantropi termasuk meluas di publik.

Tentunya semua pihak ingin agar munculnya berbagai isu tentang kegiatan filantropi bisa selesai dengan baik dan transparan. Sebab ada penerima manfaat yang tengah menunggu berbagai aksi dan program filantropi yang merupakan ruh dasar bangsa Indonesia ini.

Terlepas dari subtansi tentang pemberitaan tersebut, perhatian publik yang besar terhadap dunia filantropi harus disikapi dengan spirit optimisme. Bahwa publik menginginkan lembaga filantropi yang transparan, amanah, profesional dan taat terhadap regulasi.

Kita meyakini lembaga filantropi Indonesia yang berizin resmi dan berusia di atas satu dasawarsa telah memiliki mekanisme manajerial yang memang memenuhi harapan publik tadi: transparan, amanah, profesional dan taat regulasi.

Kita memaknai apa yang terjadi hari ini sebagai bahan perenungan bagi semua pegiat filantropi. Bagi pegiat filantropi secara umum terbagi dalam dua kategori. Gerakan filantropi umum dan gerakan filantropi Islam. Masing-masing memiliki klausa regulasi yang berbeda.

Gerakan filantropi pada umumnya yang melakukan aktivitas pengumpulan uang dan benda ternaungi dalam UU Nomor 8 Tahun 1961 dan Permensos Nomor 8 Tahun 2021.

Dalam banyak hal memang yang masih menjadi pekerjaan rumah adalah pengawasan dan implementasi peraturan dan kebijakan. Termasuk dalam pengawasan adalah implementasi yang adil dalam sebuah peraturan.

Penerapan UU No 8 Tahun 1961 dan Permensos Nomor 8 Tahun 2021 diuji dalam beberapa kejadian yang menyita perhatian banyak khalayak. Teranyar saat Kemensos mencabut izin penggalangan dana dari Lembaga Aksi Cepat Tanggap (ACT). Sebelumnya publik juga bertanya tentang penggalangan dana untuk anak pasangan selebritis yang meninggal karena kecelakaan Vanessa Angel.

Pada dua kasus ini, ada perbedaan sikap yang cukup mencolok. Pada kasus pertama, Kemensos bergerak cepat dengan mencabut izin mengumpulan dana dan barang untuk ACT. Dalihnya berdasarkan konfirmasi dari pimpinan ACT ada dugaan pelanggaran batas penggunaan dana operasional.

Sementara pada kasus kedua, yang juga sempat dilaporkan ke Kemensos belum ada tindakan nyata. Pada kasus kedua yang dipersoalkan apakah individu berhak menghimpun uang dan barang dalam sebuah aktivitas fundraising? Jawaban dari Kemensos pada berbagai situs berita dalam kasus kedua bisa dikatakan cukup mengambang.

Maka momentum ini harus dijadikan sebagai ajang untuk semua pihak berbenah. Lembaga harus melakukan proses audit internal secara berkala, menerapkan sistem manajemen yang transparan dan profesional, serta taat aturan.

Negara dalam hal ini selain menegakkan peraturan, juga melakukan sosialisasi dan edukasi dalam pelaksanaan peraturan. Menjadikan peraturan sebagai pegangan yang adil diterapkan kepada semua kasus dan lembaga.

Alangkah baiknya sebagai sebuah perbaikan Kemensos dan pihak lembaga filantropi yang sudah berizin termasuk ACT duduk bersama untuk membuka diri. Melakukan audit forensik benarkah ada pelanggaran yang dilakukan sebelum terburu-buru menjatuhkan sanksi berbasis konfirmasi dari pimpinan ACT.

Audit forensik ini penting agar menjadi sebuah yurisprudensi dan pada akhirnya nanti sebuah panduan tentang apa saja unsur dari pembiayaan usaha pengumpulan yang maksimal 10 persen itu.

Dalam laporan Unicef Indonesia misalnya, disebutkan dalam situs resminya bahwa dari 100 persen yang disumbangkan yang disalurkan ke penerima manfaat sebesar 72 persen, 5 persen untuk operasional internal dan 23 persen untuk proses fundraising pengumpulan dana.

Maka perlu penjelasan dari Kemensos, definisi 10 persen pembiayaan usaha itu terdiri dari unsur biaya apa saja dan bagaimana aturan penggunaannya. Hal yang sama perlu dipertanyakan lewat mekanisme audit forensik yang terbuka apakah 13,7 persen klaim pimpinan ACT hanya untuk operasional internal atau termasuk proses fundraising dan biaya lainnya.

Momentum perbaikan

Hadirnya perhatian publik yang besar dalam pengelolaan salah satu lembaga filantropi di Indonesia setidaknya menghadirkan beberapa catatan yang bisa menjadi bahan perenungan. Publik akan memiliki keingintahuan yang sangat besar tentang bagaimana para praktisi mengelola dana operasionalnya. Termasuk di dalamnya bagaimana lembaga filantropi seharusnya melakukan efisiensi dan efektivitas pengelolaan lembaga.

Trust bagi lembaga filantropi adalah yang paling utama. Kepercayaan adalah modal dasar untuk pengelolaan dana publik. Saat ini tugas lembaga filantropi adalah membuka diri, tampil apa adanya dan orientasi pada kemasan penerima manfaat. Betapa banyak program dan usaha agar penerima manfaat bisa terangkat manfaatnya adalah sebuah fakta yang juga harus ikut ditampilkan.

Di sisi lain memang harus ada upaya mengurangi spotlight terhadap pangung-panggung yang elitis misalnya mengurangi kegiatan di hotel berbintang bahkan penggunaan fasilitas yang berlebihan dengan memanfaatkan dana operasional.

Bagi pegiat filantropi pemantik ini bisa dijadikan pit stop. Tempat berhenti sebentar saja, amat sebentar dan bahkan bisa berhenti bersamaan dalam satu waktu. Tapi tidak perlu lama, sebab ‘perlombaan’ untuk mengangkat derajat penerima manfaat tidak bisa menunggu terlalu lama.

Jadikan pemantik ini sebagai bahan refleksi, tidak perlu merespons dengan emosional apalagi pembelaan berlebihan. Cukup lakukan scanning menyeluruh, kembali kepada value dan pastikan value bukan sebatas jargon. Tapi dimaknai dalam jiwa dan implementasi dalam bentuk profesional, kebijakan yang wajar, lebih kuat melayani publik dan seluruh stakeholder.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *