Overview Fundraising 2025: Fundraising di Era Ekonomi Sulit
oleh Arifin Purwakananta
Dewan Pembina IFI
Tahun 2025 dibuka dengan tantangan ekonomi yang tidak ringan. Sejumlah lembaga resmi seperti OECD dan Bank Indonesia telah memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi sekitar 4,7%, jauh dari target pemerintah sebesar 5,2% (Kompas.id, 3 Juni 2025).
Cadangan devisa Indonesia harus stagnan di angka 152,5 miliar USD, menunjukkan terbatasnya ruang fiskal untuk manuver stimulus. Tempo mencatat melonjaknya angka PHK dan lesunya daya beli masyarakat, dua indikator nyata yang memengaruhi perilaku donatur secara langsung. Sementara itu, Kontan.co.id menyoroti bahwa potensi ekonomi kurban tahun ini turun menjadi Rp27 triliun, sebagai akibat dari menurunnya jumlah pekurban dan lemahnya konsumsi masyarakat. Semua ini adalah sinyal bahwa tahun 2025 adalah tahun penuh ujian bagi para pelaku fundraising.
Sebagai seorang praktisi yang telah bertahun-tahun berkecimpung di bidang ini, saya melihat bahwa tantangan utama bukan hanya pada angka, tetapi pada psikologi publik. Ketika daya beli menurun, ketidakpastian membayangi, dan informasi sosial bertubi-tubi datang dari berbagai arah, maka respons alamiah masyarakat adalah menahan diri. Donor menjadi lebih selektif, bahkan lelah (donor fatigue), terhadap berbagai ajakan donasi yang datang silih berganti. Di sinilah tugas lembaga fundraising menjadi sangat strategis, bukan hanya mengajak berdonasi, tetapi membangun kepercayaan, empati, dan harapan secara konsisten.
Saya mendorong setiap lembaga sosial untuk mengadopsi pendekatan CRISMA: amati, ukur, terima kenyataan, perbaiki strategi, lalu menangkan kembali kepercayaan publik. Jangan langsung reaktif dengan menurunkan target atau menghentikan kampanye, tapi evaluasi ulang pendekatan.
Dalam kondisi seperti ini, komunikasi kita harus lebih empatik dan emosional yang bercerita bukan hanya soal angka, tapi soal mengapa bantuan itu penting. Narasi harus membangun harapan, bukan menambah beban psikologis publik. Hindari retorika keluhan, dan gantilah dengan kisah nyata yang menyentuh hati.
Selain itu, segmentasi donatur perlu diperkuat. Layani kelompok donatur secara berbeda, sesuai karakteristik dan preferensinya. Donatur muda misalnya, cenderung responsif terhadap visual singkat, transparansi penggunaan dana, serta laporan dampak konkret seperti jumlah penerima manfaat atau testimoni. Inilah saatnya kita tidak hanya menggalang dana, tapi menggalang rasa percaya. Dalam dunia yang penuh distraksi, yang dibutuhkan donatur adalah kejelasan dan kejujuran.
Peran teknologi juga sangat vital. WhatsApp, media sosial, QRIS, hingga crowdfunding harus dimanfaatkan bukan hanya untuk menjangkau, tapi juga memudahkan. Fundraising harus menjadi paperless dan seamless yang mudah dilakukan, mudah dipahami, dan mudah dipercaya. Selain itu, inovasi tak hanya soal teknologi, tapi juga dalam pelayanan dan komunikasi. Gunakan infografis, video pendek, dan pesan-pesan positif sebagai jembatan emosi ke hati donatur.
Kita juga harus lebih serius melibatkan komunitas, alumni, dan relawan digital sebagai duta kampanye. Mereka bisa menjangkau ruang-ruang yang tidak bisa dijangkau oleh institusi formal. Dan yang tak kalah penting, pastikan setiap ajakan berdonasi diakhiri dengan call to action yang jelas, ringkas, dan langsung: sertakan QR code, link, atau nomor yang mudah diakses.
Di tengah tekanan ekonomi, saya percaya bahwa kekuatan fundraising justru bisa bersinar jika kita tetap tenang, kreatif, dan tidak kehilangan harapan. Seperti yang dikatakan Nelson Mandela, “Tidak ada yang tidak mungkin untuk kita. Kita bisa meraih bintang jika kita bisa bersabar.” Maka, mari kita jadikan tahun 2025 sebagai momentum untuk membuktikan bahwa semangat solidaritas bisa tetap menyala, bahkan dalam situasi paling sulit sekalipun.
Tabik